Taman Pringgondani dan Ajaran Lao Tze di Rumah Oei

Taman Pringgondani dan Ajaran Lao Tze di Rumah Oei

“Kalau ingin menangkap ayam, jangan dikejar.

Kita akan lelah, dan ayam pun makin menjauh.

Berikanlah ia beras dan makanan,

nanti ia datang dengan rela.”

Begitulah rezeki.

Jangan terlalu diburu dengan ngotot dan gelisah.

Melangkahlah baik-baik, keluarkanlah sedekah,

maka ia akan datang — menghampiri, tepat waktu.

Kutipan ini saya baca di papan kayu kecil di salah satu sudut Roemah Oei, masih di serambi di dekat taring jin. Pesan ini sangat dekat dengan ajaran Lao Tze: bahwa hidup bukan soal mengejar, tapi soal selaras dengan semesta. Hari itu, Roemah Oei bukan cuma rumah, tapi ruang belajar yang lembut. Rumah yang mengajari kita kembali pelan-pelan — tanpa suara, tanpa ceramah.

Gerai Es Ronde, dan Jejak Rasa Masa Lalu

Kami melanjutkan jalan jalan di Roemah Oei dengan masuk ke taman belakang. Di dekat pintu masuk sempat ada petunjuk bahwa di sini juga ada penginapan bernama Wisma Pamilie. 

Sebelum melangkah ke taman belakang, kami melewati lorong yang ramai oleh gerai makanan tradisional. Ada onde-onde wijen hangat, dan aneka jajanan khas Lasem. Tapi satu yang mencuri perhatian adalah gerai es ronde.

Biasanya, ronde disajikan hangat — bola-bola ketan isi kacang dengan kuah jahe — tapi di Lasem, ia hadir dalam versi dingin. Disajikan dengan serutan es dan sirup gula merah, es ronde tropis ini seperti metafora Lasem itu sendiri: akulturasi yang manis dan menyegarkan.

Aroma jahe, wijen, dan kelapa parut memenuhi udara sore. Sambil berjalan, kami menikmati kudapan yang bukan hanya mengisi perut, tapi juga mengisi ingatan akan masa kecil dan kehangatan keluarga.

Taman Pringgondani: Ruang Luas untuk Ingatan

Lorong kecil itu berakhir di sebuah ruang terbuka yang rindang. Di depannya berdiri papan kayu:

TAMAN PRINGGONDANI LASEM

Pringgondani — nama kampung halaman Gatotkaca dalam dunia pewayangan Jawa — tiba-tiba hadir di jantung rumah peranakan Tionghoa. Di sinilah saya sadar, Lasem menolak dikotakkan oleh satu identitas. Ia adalah pertemuan Jawa, Tionghoa, Belanda, dan siapa pun yang mau tinggal dan hidup berdampingan.

Di tepi taman, berdiri bangunan dua lantai yang anggun dan bersahaja. Inilah Wisma Pamilie, penginapan yang menjadi bagian dari Roemah Oei. Di depannya tergantung papan hitam bertulisan Hanzi emas:

(bin zh rui gui)

“Tamu datang, ibarat tinggal di rumah sendiri.”

Kalimat itu terasa benar. Tidak dibuat-buat. Tidak berlebihan. Karena sejak masuk ke rumah ini, kami memang merasa diterima — bukan sekadar disuguhi kopi, tapi dikenalkan pada akar kehidupan.

Rumah Tokoh, Altar Leluhur, dan Meja Doa

Kami masuk kembali ke bangunan utama Roemah Oei. Di dinding terpajang foto-foto tokoh nasional dan peranakan Tionghoa Indonesia: Ignasius Jonan, laksamana John Lie, mendiang Chrisye, dan masih banyak lagi.

Chrisye — ya, Chrisye. Banyak yang tak tahu bahwa ia adalah bagian dari sejarah Tionghoa di Indonesia. Rumah ini pelan-pelan membisikkan cerita-cerita yang nyaris hilang dari buku sejarah.

Perabotan antik berjejer: kursi rotan tua, lemari kaca, meja altar keluarga. Di sana juga tergantung tulisan Hanzi dan panel-panel kecil yang menjelaskan nilai-nilai hidup dalam etika Tionghoa.

Filosofi Mi, Sumpit, dan Musim Kehidupan

Di serambi, kami membaca panel edukatif tentang filosofi makanan Tionghoa. Mi, bihun, misoa, kwe tiauw — masing-masing bukan hanya soal bentuk dan rasa, tapi juga umur panjang, kesederhanaan, dan simbol kehidupan.

Di sini pula juga belajar tentang Empat makanan yang mewakili empat musim di Tiongkok:

Bakcang () untuk musim panas, simbol keberanian

Mooncake () untuk musim gugur, lambang persatuan

Ronde () untuk musim dingin, penghangat keluarga

Lontong Cap Go Meh () untuk musim semi, harapan baru.

Di papan lain dijelaskan pula tentang sumpit: alat makan yang mewakili keseimbangan dan kesetaraan. Sumpit tidak tajam, tidak menusuk, dan tidak melukai. Ia mengangkat makanan tanpa menguasai, mengajarkan kita untuk bersikap lembut namun sigap, terampil tanpa arogan.

Akulturasi Kuliner: Dari Bakso ke Jamu

Satu panel besar menjelaskan akulturasi makanan di Indonesia yang berasal dari budaya Tionghoa:

Bakso (bah si)

Bakwan (bah wan)

Sate, soto, siomay, sekoteng, cincau, tauco

Kuaci, jamu, hingga kaldu kuah herbal

Kita tumbuh besar dengan makanan ini, tanpa tahu bahwa kita sedang menyantap sejarah.

Di sinilah saya sadar, lidah kita telah lebih dulu berdamai dibandingkan politik. Makanan adalah bahasa yang tak butuh terjemahan.

Baju Koko dan Penghormatan yang Menyejarah

Sebuah papan lain menjelaskan asal-usul baju koko. Siapa sangka, baju muslim laki-laki ini berasal dari pakaian Tionghoa: Tui-khim, baju berkancing tengah dengan kerah tegak.

Karena sering dipakai oleh etnis Tionghoa Muslim, masyarakat menyebutnya “baju engkoh” — dan lama-lama menjadi “baju koko”. Kini, ia dikenakan dalam salat, Lebaran, hingga akad nikah. Busana pun punya sejarah lintas batas.

Ayah, Ibu, dan Bakti yang Tak Pernah Usang

Di dinding rumah ini, kami membaca kutipan lain — kali ini tentang bakti anak kepada orang tua. Tulisannya sederhana:

Ayah dan ibu adalah orang tua kita,

yang menghidupi dan membesarkan kita.

Meskipun tak punya uang, mereka tak akan membiarkan kita kelaparan.

Meski hidup susah, mereka tetap berusaha membuat kita nyaman.

Di tengah dunia yang makin sibuk, rumah ini mengajak kita untuk kembali — bukan hanya ke masa lalu, tapi ke nilai-nilai dasar yang membentuk siapa kita.

Kami Pergi, Tapi Rumah Ini Tidak Pernah Pergi

Sekitar pukul 7 malam, kami akhirnya meninggalkan Roemah Oei. Lampu jalan mulai menyala, angin dari utara membawa aroma laut dan wangi jahe.

Tapi kami tak pergindengan tangan kosong. Kami membawa kisah. Kami membawa rasa. Dan lebih dari itu, kami membawa keyakinan bahwa rumah-rumah seperti ini harus terus dijaga — bukan demi nostalgia, tapi demi masa depan yang tahu cara menghormati masa lalu.

Tags: #RoemahOei #Lasem #WosmaPamilie #TionghoaIndonesia #KulinerPeranakan #BajuKoko #BaktiAnak #FilsafatLaozi #EsRonde #ZiarahBudaya #WisataKreatifJakarta