Satelit Ini Ungkap Cara Lautan Menyerap Karbon

Satelit Ini Ungkap Cara Lautan Menyerap Karbon

tinomaria.com – , Jakarta – Teknologi satelit mutakhir belakangan bisa mengungkap cara lautan menyerap karbondioksida (CO2) dengan tingkat detail yang belum pernah dicapai oleh ilmuwan sebelumnya. Teknologi bernama OceanSODA-ETHZ, yang dikembangkan oleh tim dari ETH Zurich, memungkinkan pemantauan penyerapan karbon di laut setiap delapan hari dengan resolusi 25 kilometer.

Selama ini, lautan dikenal sebagai penyerap karbon terbesar di Bumi, menyerap sekitar seperempat emisi karbon dioksida hasil aktivitas manusia dan panas berlebih. Namun, penyerapan ini tidak merata. Beberapa wilayah menyerap karbon, sementara wilayah lain justru melepaskannya. Perubahan ini bisa terjadi dalam hitungan hari.

Pemetaan karbon sebelumnya bergantung pada data dari kapal dan pelampung, yang menyisakan banyak kekosongan ruang dan waktu. Untuk mengatasinya, tim ilmuwan menggabungkan data tersebut dengan pengamatan satelit terhadap suhu permukaan laut, warna air, kecepatan angin, dan variabel lain yang berkaitan erat dengan kemampuan air laut menyerap karbon.

“Meningkatkan resolusi dataset global ini sangat menantang karena jumlah pengukuran langsung karbon dioksida di permukaan laut masih sangat jarang di seluruh wilayah dan waktu,” kata Nicolas Gruber, pemimpin proyek dari ETH Zurich, dikutip dari Earth, 2 Juli 2025.

Dengan bantuan algoritma pembelajaran mesin, data-data itu disusun menjadi peta global yang diperbarui setiap delapan hari. Mesin Vvrsi baru ini memetakan parameter sistem karbon laut setiap delapan hari dengan resolusi sekitar 25 x 25 kilometer.

“Hingga 30 kali lebih rinci dibandingkan produk sebelumnya,” ujar Gruber. Produk sebelumnya hanya menyediakan data bulanan dengan resolusi 100 kilometer.

Menurut Gruber, pagian penting dari pendekatan ini adalah penggunaan data satelit untuk memperkirakan pengukuran dalam ruang dan waktu. Data ini dipresentasikan dalam Simposium Living Planet yang diselenggarakan Badan Antariksa Eropa (ESA).

Salah satu temuan penting yang diungkap di sana adalah peristiwa musim badai Atlantik 2017. Ketika badai seperti Maria dan Irma melanda, air laut dalam yang kaya karbon terdorong ke permukaan dan menyebabkan pelepasan CO2 dalam jumlah besar.

Dia memastikan data satelit ini akan terus diperbarui dengan informasi dari kapal dan satelit masa depan. Pada akhirnya, ilmuwan berharap bisa menggabungkannya dengan model atmosfer-laut untuk memprediksi penyerapan karbon regional, seperti pada prakiraan cuaca harian.

Jamie Shutler dari University of Exeter, meski tidak terlibat dalam pengembangan, menyatakan bahwa data tersebut sangat berguna dalam studi badai. “Dengan detail tinggi, dataset tersebut dapat membantu kami membedakan dan memahami pengaruh peristiwa seperti badai,” ucapnya.

Di tengah badai, kata dia, air laut dalam yang seringkali kaya karbon, bisa terdorong ke permukaan dan menyebabkan perubahan pada kadar karbon dioksida di permukaan laut. Pengaruh fenomena angin itu selama ini belum bisa dirincikan.

Teknologi satelit OceanSODA-ETHZ juga memungkinkan pemantauan pengasaman laut. Karbon dioksida yang diserap laut akan menurunkan pH air dan mengubah komposisi kimia karbonat, yang dapat merusak ekosistem laut seperti terumbu karang dan plankton.

Dengan cakupan data sejak 1985, ilmuwan kini dapat melacak tren jangka panjang dan mengidentifikasi wilayah yang menjadi titik rawan. Data ini dapat digunakan dalam pengelolaan perikanan, perencanaan wilayah pesisir, hingga penyusunan anggaran karbon nasional.

“Fakta bahwa kita bisa menggunakan metode ini untuk mendapatkan wawasan baru tentang pertukaran karbon dioksida antara laut dan atmosfer—dan juga tentang pengasaman laut secara keseluruhan—merupakan langkah besar bagi ilmu kelautan,” kata Roberto Sabia, ilmuwan ESA.

Pilihan Editor: Apa Itu Ekosipasi? Jalan Baru Pembangunan Berkelanjutan