tinomaria.com – Huawei Technologies mengakui adanya kesenjangan teknologi chip dengan pesaing Amerika Serikat, menyebutnya tertinggal satu generasi. Namun, CEO Huawei, Ren Zhengfei, dalam wawancara dengan People’s Daily, mengungkapkan strategi perusahaan untuk mengatasi keterbatasan ini. Pernyataan ini merupakan komentar publik pertama dari Huawei terkait perkembangan chip canggih mereka sejak dikenai sanksi AS.
Menurut Ren, “Chip tunggal kami masih tertinggal satu generasi dari AS.” Namun, Huawei tidak tinggal diam. Mereka menerapkan pendekatan inovatif, menggabungkan komputasi klaster untuk meningkatkan kinerja. “Kami menggunakan matematika untuk melengkapi fisika, hukum non-Moore untuk melengkapi hukum Moore, dan komputasi klaster untuk melengkapi chip tunggal. Hasilnya juga bisa mencapai performa yang bisa dipakai secara praktis,” jelas Ren, seperti dilansir Reuters (10/6/2025).
Strategi ini memanfaatkan kekuatan komputasi klaster, di mana sejumlah komputer bekerja bersama untuk meningkatkan kecepatan dan efisiensi pengolahan data. Ini menjadi solusi alternatif mengingat keterbatasan dalam pengembangan chip tunggal yang terhambat sanksi. Sementara itu, hukum Moore, yang menggambarkan peningkatan kecepatan dan kepadatan chip setiap dua tahun, menjadi acuan yang kini Huawei coba “lampaui” dengan pendekatan inovatifnya.
Ren juga menekankan bahwa Huawei bukanlah satu-satunya pemain di industri chip China, mengatakan, “Amerika Serikat telah membesar-besarkan pencapaian Huawei. Huawei tidak sehebat itu. Kami harus bekerja keras untuk mencapai evaluasi mereka.” Pernyataan ini menunjukkan sikap rendah hati sekaligus tekad Huawei untuk terus berinovasi.
Sejak 2019, Huawei menghadapi pembatasan ekspor dari AS, membatasi akses mereka terhadap chip dan peralatan produksi kelas atas yang krusial untuk pembuatan semikonduktor canggih. Kendati demikian, Huawei tetap berinvestasi besar dalam riset dan pengembangan, mengeluarkan 180 miliar yuan (sekitar 25,07 miliar dolar AS atau Rp408 triliun) setiap tahunnya. Investasi ini terlihat dalam peluncuran chip kecerdasan buatan (AI) seri Ascend, yang diposisikan sebagai pesaing chip Nvidia.
Meskipun Ascend diharapkan dapat bersaing dengan chip AI unggulan dari Nvidia, Departemen Perdagangan AS bulan lalu menyatakan penggunaan chip Ascend berpotensi melanggar kontrol ekspor. Tantangan ini semakin menguji ketangguhan Huawei dalam menghadapi tekanan geopolitik. Namun, Huawei tetap optimistis, mempertimbangkan pengembangan chip majemuk—chip yang terbuat dari berbagai unsur, bukan hanya silikon—sebagai salah satu strategi masa depan.
Baca juga: Ditjen Pajak Tunjuk 7 Perusahaan Asing Jadi Pemungut PPN Digital, Ada Huawei hingga Amazon Jepang
Baca juga: Wall Street Menguat, Saham Pembuat Chip Nvidia jadi Penopang
Dengan berbagai strategi inovatif dan investasi besar di bidang riset, Huawei berupaya mempertahankan daya saingnya di tengah persaingan global yang ketat dan pembatasan teknologi yang dihadapinya. Perjuangan Huawei ini mencerminkan dinamika kompleks dalam industri semikonduktor global dan persaingan teknologi antara AS dan China.