Ada Apa di Belakang Hotel Santika ?

Ada Apa di Belakang Hotel Santika ?

“Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.” Kutipan dari pastor bernama lengkap Martinus Anthonius Weselinus Brouwer tersebut terpampang di sebuah tembok jalan Kota Bandung.  Dan ternyata ini memang tidak dapat disangkal dan terbukti ketika saya jalan-jalan ke Garut.

Setelah siang dan sore itu kami menikmati mandi air panas di kawasan Gunung Papandayan, tubuh terasa ringan tapi juga sedikit lelah. Langit mulai redup, hawa dingin mulai menyelusup lewat celah-celah baju. Kami pun langsung meluncur ke kota Garut. Setelah mampir sejenak untuk makan nasi liwet dan ayam bakar di sebuah resto khas Sunda, perjalanan berlanjut ke Hotel Santika untuk beristirahat. Tidak ada rencana menginap lebih dari satu malam, hanya singgah semalam, tapi kesan yang tertinggal justru jauh lebih lama. Ada sesuatu yang tidak disangka-sangka di hotel ini.

Pagi-pagi sekali, suasana masih lengang. Saya mengantarkan Fandi ke stasiun untuk keperluan mendadak ke Jakarta via Bandung.

Setelah itu saya sempatkan jalan -jalan menikmati suasana sekitar hotel. Biasa saja , tidak ada yang istimewa.

Namun ketika kami turun ke restoran hotel untuk sarapan. Ada sesuatu yang berbeda. Di belakang hotel, terbentang luas sawah menghijau dengan Gunung Cikuray menjulang megah di kejauhan. Kabut tipis masih menyelimuti puncaknya. Udaranya segar, aroma tanah dan rerumputan basah menyapa hidung. Rasanya seperti bangun di tengah lukisan hidup.

Saat saya sedang menyeruput teh panas dan menikmati sarapan, ada  suara terdengar dari halaman belakang  tidak jauh dari resto.Bukan suara musik, bukan juga kendaraan. Tapi suara dari pengeras suara, berbahasa Sunda, mengingatkan saya pada lawakan-lawakan ala Kabayan atau pengumuman hajatan kampung. Khas, lucu, dan akrab. Seolah-olah ada kehidupan yang berjalan pelan tapi pasti di luar pagar hotel.

Saya pun keluar restoran, mendekati pagar belakang. 

Di sanalah saya melihat sesuatu yang mengejutkan sekaligus menyenangkan: ada anak-anak sedang naik kerbau dan kuda di tengah sawah! Mereka mengenakan sarung yang diselempangkan dan memakai caping—topi khas petani Sunda. Wajah mereka sumringah, tertawa riang sambil berpegangan pada tali kekang. Ada juga yang tidak naik, tapi ikut bermain lumpur sambil menanam padi. Kaki-kaki kecil mereka masuk ke lumpur, tertawa geli saat terpeleset atau saling ciprat.

Saya tersenyum melihatnya. Momen langka yang menyentuh hati. Anak-anak itu bukan berasal dari keluarga petani, sepertinya anak kota juga, tapi justru terlihat antusias dan senang. Barangkali ini pertama kalinya mereka menyentuh lumpur sawah sungguhan. Dalam hati saya berkata, “Ah, beginilah seharusnya masa kecil—penuh rasa ingin tahu, alam, dan tawa.”

Pada momen lain, ada juga ibu-ibu muda yang ikut naik kerbau, mula-mula sedikit waswas, tetapi kemudian tampak sangat menikmati sambil bergaya ketika difoto oleh suaminya. Ada juga sepasang anak berusia sekitar enam tahun yang naik kuda dan kemudian kerbau dengan riangnya. Sesekali anak lelaki itu memegang dan memindahkan posisi caping yang kebesaran.

Saya tidak ikut naik, meskipun sebenarnya ingin juga. Tapi saya cukup senang hanya dengan memotret, merekam kegembiraan mereka dari dekat. Harga naik kuda atau kerbau di sawah ini ternyata Rp100.000, sudah termasuk minuman. Sebuah paket yang bukan hanya menyenangkan, tapi juga penuh nilai edukasi.

Setelah puas memotret dan menikmati pemandangan itu, saya sempat berjalan-jalan di pematang sawah dengan padi yang sedang menghijau. Berapa mata tampak

 sangat dimanjakan.

Setelah menakutkan sarapan saya sempatkan sekali lagi mengamati anak-anak lain yang naik kerbau dan bermain menanam padi di sawah.

Puas melihat suasana sawah, saya sempatkan mampir sejenak di kolam renang. Airnya ternyata sedikit hangat. Sekedar menggerakkan tubuh dan merasakan kehangatan air kolam yang berpadu udara sejuk Garut.

Kemudian, saya  juga sempat mampir ke lobi. Di sanalah satu kejutan kecil lainnya muncul: saya melihat koran Kompas terpajang di rak baca.lengkap dengan tongkat panjangnya. Khas model zaman dahulu di hotel-hotel.

Rasanya, sudah lama sekali saya tidak menyentuh koran fisik. Biasanya semua berita saya konsumsi lewat layar digital. Tapi pagi itu, saya buka lembar demi lembar Kompas. Aroma khas kertas koran, susunan berita yang rapi, opini yang dalam—semuanya membawa saya pada nostalgia masa lalu, saat membaca koran adalah bagian dari ritual pagi.

Ada keheningan yang menyenangkan pagi itu. Tak ada hiruk-pikuk kota, tak ada dering notifikasi. Hanya suara angin, tawa anak-anak di kejauhan, dan desau dedaunan yang menari pelan. Hotel ini, tanpa saya sangka, menyimpan pengalaman yang lebih dari sekadar tempat tidur yang nyaman. Ia menyuguhkan pemandangan, kesederhanaan, dan potongan kehidupan yang memantik kenangan.

Garut, dengan segala kesahajaannya, menawarkan sesuatu yang jarang ditemukan di kota besar: ruang untuk memperlambat langkah dan menyapa alam.

Sayang, kami tak menginap lama. Siangnya langsung pulang, membawa oleh-oleh berupa kenangan dan semangat baru. Tapi pagi itu—dengan sawah, anak-anak berkuda dan bertanam padi, sarung dan caping, suara khas Sunda dari mikrofon, teh panas, dan Kompas di lobi—menjadi salah satu pagi terbaik dalam perjalanan saya.

“Kadang kita tak perlu pergi jauh untuk menemukan keajaiban. Cukup buka jendela, dengarkan suara alam, dan biarkan hati ikut berjalan.”